Sjafruddin Prawiranegara
yang lahir di Serang, Banten, 28 Februari 1911 – meninggal di Jakarta,
15 Februari 1989 pada umur 77 tahun adalah Seseorang yang pernah memimpin bangsa Indonesia selama
207 hari serta penyelamat negara di saat zaman Presiden Soekarno dan wakilnya
Mohammad Hatta ditawan Belanda, tidak pernah diakui sebagai Presiden di
Indonesia. Bahkan, hingga kini belum juga diangkat sebagai pahlawan nasional.
Semenjak
berkecimpunya Sjafruddin Prawiranegara di dalam kancah pemerintahan, sudah
tidak terhitung lagi berapa banyak jasa yang ia torehkan. Namun hidupnya selalu
dihantam kesulitan. Rumahnya ’lenyap’. Anak-anaknya dititipkan ke sanak saudara
dan para teman, meski negeri ini telah merdeka. Tak ada pengakuan prestasi.
Apalagi gelar pahlawan. Peran PDRI diakui tahun 2006. Melalui Keputusan
Presiden Nomor 28 Tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan
tanggal 19 Desember sebagai ‘Hari Bela Negara’. Keputusan itu dilandasi fakta
perjuangan Sjafruddin dan kawan-kawan mempertahankan kemerdekaan melalui PDRI.
Namun, Sjafruddin tidak diakui menjadi presiden. Padahal ketika memimpin PDRI,
Sukarno-Hatta telah ditawan Belanda. Anda saja tidak ada PDRI, Indonesia telah
“musnah”. Dan Indonesia kembali dicengkram kolonialisme.
Syafruddin
adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan Hatta untuk membentuk
Pemerintahan Darurat RI (PDRI), ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamma
Hatta ditangkap pada Agresi Militer II, kemudian diasingkan oleh Belanda ke Pulau
Bangka, 1948. Syafruddin menjadi Ketua Pemerintah Darurat RI pada 1948. Atas
usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia.
Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan
kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, diadakan
sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah
menteri kedua kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi
terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta.
Syafrudin
Prawiranegara pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan,
dan Menteri Kemakmuran. Ia menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan pada tahun 1946,
Menteri Keuangan yang pertama kali pada tahun 1946 dan Menteri Kemakmuran pada
tahun 1947. Pada saat menjabat sebagai Menteri Kemakmuran inilah terjadi Agresi
Militer II dan menyebabkan terbentuknya PDRI.
Seusai
menyerahkan kembali kekuasaan Pemerintah Darurat RI, ia menjabat sebagai Wakil
Perdana Menteri RI pada tahun 1949, kemudian sebagai Menteri Keuangan antara
tahun 1949-1950. Selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, pada bulan Maret
1950 ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga
nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu
dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin. Syafruddin kemudian menjabat sebagai
Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama, pada tahun 1951. Sebelumnya ia
adalah Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir, yang kemudian diubah
menjadi Bank Sentral Indonesia.
Pada awal tahun
1958, PRRI berdiri akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah karena ketimpangan-ketimpangan
sosial yang terjadi dan pengaruh komunis (terutama PKI) yang semakin menguat.
Syafruddin diangkat sebagai Perdana Menteri PRRI dan kemudian membentuk Kabinet
tandingan sebagai Jawaban atas dibentuknya kabinet Ir Juanda, di Jawa. Kabinet
PRRI berbasis di Sumatera Tengah. PRRI masih tetap mengakui Soekarno sebagai
Presiden PRRI, karena ia diangkat secara konstitusional.
Pada bulan
Agustus 1958, perlawanan PRRI dinyatakan berakhir dan pemerintah pusat di
Jakarta berhasil menguasai kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya bergabung
dengan PRRI. Keputusan Presiden RI No.449/1961 kemudian menetapkan pemberian
amnesti dan abolisi bagi orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan,
termasuk PRRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar