Jumat, 19 Desember 2014

Bhinneka Tunggal Ika sebagai Wujud Integrasi Nasional


Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multikultural. Ini disebabkan oleh beragamnya suku  bangsa, agama, bahasa dan lain-lain. Kondisi bangsa Indonesia yang multikultural tersebut menganut semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai lambang pemersatu bangsa Indonesia. Keadaan tersebut menjadikan sebuah identitas atau jati diri bangsa Indonesia yang harus diwujudkan demi tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Untuk itu integrasi nasional bangsa Indonesia pun harus diwujudkan di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk karena masyarakat yang majemuk merupakan salah satu potensi sumber konflik yang menyebabkan disintegrasi bangsa. Agar identitas bangsa Indonesia di mata dunia terkenal dengan bangsa yang majemuk tetapi satu dalam keanekaragaman (suku, bahasa, agama, dll, yang berbeda-beda) semboyan Bhinneka Tunggal Ika harus diwujudkan
Identitas bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang perlu diwujudkan dan terus menerus  berkembang atau seperti yang telah dirumuskan Bung Karno merupakan ekspresi dari roh kesatuan Indonesia, kemauan untuk bersatu dan mewujudkan sesuatu dan bermuatan yang nyata. Perwujudan identitas bangsa Indonesia tersebut jelaslah merupakan hasil proses pendidikan sejak dini dalam lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan formal dan in-formal. Menurut masykuri abdillah, salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat modern yang demokatis adalah tewujudnya masyarakat yang menghargai kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya sebagai suatu keniscayaan. Kemajemukan ini merupakan Sunnatullah (hukum alam). Dilihat dari segi etnis, bahasa, agama dan sebagainya, indonesia termasuk salah satu negara yang paling majemuk di dunia. Hal ini disadari betul oleh  para Founding Fatherskita, sehingga mereka merumuskan konsep pluralisme ini dengan semboyan “ Bhinneka Tunggal Ika”.
Tentunya setiap bangsa ingin menonjolkan keunggulan dari identitas bangsanya terlebih-lebih dalam era globalisasi dewasa ini di mana pertemuannya antar bangsa menjadi sangat cepat dan mudah. Dalam pergaulan antar bangsa nilai-nilai yang positif dari suatu bangsa akan ikut membina perdamaian dan kehidupan yang lebih tenteram di planet bumi ini. Identitas bangsa indonesia seperti yang kita kenal sebagai bangsa yang ramah-tamah,toleran, kaya akan tradisi dari suku-suku bangsa yang Bhinneka perlu terus dikembangkan untuk kebudayaan dan  perdamaian seluruh umat manusia. Dengan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an itu berarti masyarakat Indonesia adalah plural. Dan di dalam masyarakat plural, dialog adalah keniscayaan bahkan keharusan. Sesungguhnya bicara  pluralisme dan dialog antar-agama itu bukan hal baru di negeri ini. Memang isu pluralisme adalah setua usia manusia, hanya cara dan metode manusia menghadapinya yang berbeda. Jadi masyarakat yang majemuk itu haruslah mengadakan dialog agar integrasi tetap terjaga dan mereka juga harus bersatu dalam perbedaan. Prinsip bersatu dalam perbedaan (unity in diversity) merupakan salah satu identitas pembentuk  bangsa. Yang dimaksudkan dengan bersatu dalam perbedaaan adalah kesetiaanwarga masyarakat  pada suatu lembaga yang disebut negara, atau pemerintahan yang mereka pandang dan yakini mendatangkan kehidupan yang lebih manusiawi tetapi tanpa menghilangkan keterikatan kepada suku bangsa, adat-istiadat, ras, atau agama. Setiap warga masyarakat akan memiliki kesetiaan ganda (multi loyalities) sesuai dengan porsinya. Walaupun mereka tetap memiliki keterikatan terhadap identitas kelompok, namun mereka menunjukan kesetiaan yang lebih besar pada kebersamaaan yang berwujud dalam bentuk bangsa-negara di bawah suatu pemerintahan yang  berkeabsahan. Membina identitas bangsa memerlukan upaya yang berkesinambungan serta berkaitan dengan  berbagai aspek. Kedudukan seseorang sebagai warganegara Indonesia tidak mengenal diskriminasi, kehidupan bersama yang penuh toleransi dan menghindari berbagai perasaan curiga satu dengan yang lain di dalam kehidupan bersama, kemampuan dan keinginan untuk melihat perbedaan antar suku bukan sebagai hal yang memisahkan di dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari bahkan lebih mempererat dan memperjaya kehidupan dan kebudayaan nasional. Ini dikarenakan dalam era globalisasi sekarang ini setiap bangsa ingin menonjolkan identitas bangsanya agar lebih dikenal di mata dunia.
Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika tersebut mempunyai peran terhadap bangsa Indonesia yaitu agar menjadi bangsa yang berhasil mewujudkan integrasi nasional di tengah masyarakatnya yang majemuk. Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika tersebut juga diharapkan sebagai landasan atau dasar perjuangan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia agar dikenal di mata dunia sebagai bangsa yang multikulturalisme.

Pandangan Politik yang Sehat


Negara Indonesia adalah sebuah Negara yang sedang berkembang dan sedang dalam proses transisi dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Dalam proses demikian baik kegiatan politik, ekonomi dan sosial budaya masih mencari bentuk yang tepat (Trial and error proces), demikian pula masyarakatnya berusaha mencari identitas diri yang sesuai dengan perkembangan zaman. Ditambah lagi dengan kondisi sosial politik dan ekonomi kita belum stabil, memungkinkan berbagai dampak globalisasi ikut membentuk mentalitas masyarakat kita pada saat ini1. Krisis ekonomi yang berkepanjangan ini ikut mempengaruhi semua aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya kita. Kemiskinan dan lemahnya hukum merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat, dimana faktor ini yang mendorong orang untuk mencari jalan pintas dalam mencapai tujuan hidup atau cita-citanya, disamping faktor mencari identitas diri, mencari hiburan dan faktor iseng. Faktor hiburan dan iseng ini telah melekat pada setiap diri manusia yang disebut sebagai Homo Luden.
1.   Pandangan Politik sebagai Solusi Mewujudkan Politik yang Sehat
Dalam solusi mewujudkan politik yang sehat tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Hal tersebut berangkat dari pandangan politik para pengusungnya dan sejauh mana ia menggalakkan visi misinya. Beberapa pandangan dianut para pelakunya, yang juga kadang menimbulkan gesekan di setiap anggotanya. Partai politik berisi sekumpulan orang yang mempunyai kepentingan yang sama di ranah politik, dan ia terikat dalam suatu organisasi yang sehaluan. Pandangan politik yang ditanamkan stiap partai haruslah sehat dan jernih, bukan untuk kepentingan yang bersifat money oriented saja.

Faktanya, di zaman sekarang ini, masih saja ada segelintir partai politik yang menggalakkan politik uang. Harus diingat bahwa nasib bangsa ini pun patut kita pikirkan. Apa jadinya bangsa ini jika para pemimpinnya pun masih ditunggangi kepentingan segelintir pihak, tanpa memikirkan nasib rakyat. Pengamalan sila kelima perihal Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tentulah bukan isapan jempol belaka, dan harus diperhatikan secara seksama. Tak dapat dipungkiri, bahwa kemerosotan moral bangsa pun semakin terjadi, yang juga diakibatkan oleh pandangan politik yang tak semestinya.
Banyak hal yang harus ditangani di bangsa ini. Politiklah yang salah satunya menjadi alat pemecahan sederet masalah bangsa melalui sinergi bernilai dari setiap anggotanya. Perpolitikan harusnya mampu menjadi solusi di tengah rentetan masalah yang terjadi. Kekuasaan yang dipegang oleh suatu partai politik pun baiknya digunakan sebijak mungkin, demi mewujudkan bangsa yang beradab, bermartabat sehingga kekuasaannya syarat manfaat. Dengan dibentuknya partai politik, diharapkan tokoh-tokoh baru muncul yang mampu mengemban tugasnya dengan baik, melahirkan kebijakan yang betul-betul "bijak" hingga melahirkan suatu perubahan yang "menggembirakan" bagi bangsa ini.
Pandangan politik yang sehat tentunya akan melahirkan sitem politik yang sehat pula. Mereka yang memandang bahwa dalam berpolitik itu harus menjunjung tinggi norma-norma yang ada, pastilah ia mewujudkan pemilu yang jujur dan adil dan memberikan ruang kepada khalayak untuk menggunakan kebebasannya dengan sebaik-baiknya. Dalam suatu pemilu, setiap suara saja begitu berarti. Setiap suara yang didapat merupakan sederet harapan akan pilihan yang tepat. Ketika salah memilih, maka kekuasaan pun tentunya terambil alih oleh dia yang terpilih.
2.   Pandangan Politik Sebagai Bekal Kesejahteraan
Suara seseorang tentunya akan turut mempengaruhi masa depan bangsa. Suara yang tak sekadar dari hati nurani, namun juga dibarengi dengan pertimbangan yang matang, dengan penjajakan keadaan objektif dari partai yang Anda percayakan. Demokrasi tak hanya berbicara tentang "memilih", tapi bagaimana pilihan Anda itu membawa perubahan yang berarti. Demokrasi semestinya menyangkut persamaan hak di banyak bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan kebebasan untuk berpendapat. Namun demikian, ini tak berarti bahwa segala hal sah dilakukan karena dilatarbelakangi demokrasi.
Pandangan politik yang gemilang dan dibarengi dengan implementasi yang matang tentunya akan mewujudkan "sesuatu" yang kehadirannya begitu ditunggu. Kesejahteraan sosial, terciptanya perdamaian, rasa persatuan dan kesatuan yang semakin tertanam, dan hal-hal lain yang menunjang kenyamanan setiap warga negara. Demokrasi yang gagal tentunya akan membawa "petaka" tersendiri yang dialami suatu bangsa, entah itu dari segi kemorosotan moral, sosial, dan lain sebagainya. Perpolitikan di suatu negara tentunya ada aturan hukum yang mengikatnya. Aturan ini diusung guna "kebersihan" politik yang tidak membahayakan khalayak guna menciptakannya rasa aman dan nyaman.
Aturan hidup berbangsa dan bernegara diatur dalam UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD pasal 15 ayat 1, yaitu tentang empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Empat pilar tersebut yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pilar-pilar tersebut merupakan tiang penyangga suatu bangunan guna mampu berdiri secara kokoh. Rapuhnya suatu tiang akan turut merobohkan bangunan itu sendiri, hingga melahirkan suatu kesemerawutan. Empat pilar ini pun turut menjamin terwujudnya kebersamaan dalam hidup bernegara. Rakyat akan merasa aman terlindungi sehingga merasa tenteram dan nemikmati kehidupan berbangsanya secara optimal. Empat pilar tersebut pun merupakan dasar atau pondasi guna keamanan suatu negara dan sebaiknya tidak dipandang sebelah mata. Pancasila merupakan landasan idiil negara yang di dalamnya mencakup lima hal, yang bila diimplementasikan akan melahirkan efek luar biasa. Nilai-nilai yang terkandungnya begitu dapat menjamin suatu kesejahteraan khalayak, jika dibarengi dengan aplikasi yang bertanggung jawab.
Lima dasar, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, merupakan hal penting yang juga dapat dijadikan referensi sebuah pandangan politik. Dalam Undang-undang Dasar 1945, tertuang tentang tujuan negara yang terdapat pada pembukaannya, Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tujuan negara tersebut dapat diwujudkan melalui sebuah perpolitikan, tentunya yang tak lepas dari pandangan politik yang semestinya.
Jangan sampai pandangan politik tersebut justru meresahkan, dan menimbulkan banyak kerugian sehingga bangsa ini tengah terancam kesejahteraannya. Kita tentunya tak menginginkan bangsa ini terpuruk, dan mencita-citakan bangsa yang selalu mengalami perubahan ke arah positif. Cita-cita tersebut sebaiknya tak sekedar harapan semata, namun diperlukan bukti nyata guna keamanan dan ketentraman bersama.
Selanjutnya, kita tentunya sudah mengenal syarat berdirinya suatu negara. Terdapat empat syarat, yaitu memiliki wilayah, memiliki penduduk, memiliki pemerintahan, dan adanya pengakuan dari negara lain. Jika keempat syarat tersebut telah terpenuhi, maka lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI ini patut diperhatikan seoptimal mungkin dan perlu dijaga keutuhannya. NKRI tentunya tidak terbentuk dengan percuma, namun memerlukan perjuangan yang luar biasa. Oleh sebab itu, NKRI tentunya harus dipertahankan dibarengi dengan pandangan politik yang didasari dengan "pemikiran jangka panjang".
Kemudian, empat pilar yang terakhir yaitu Bhineka Tungga Ika. Kalimat memiliki arti walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Itu artinya, keberagaman yang ada di bangsa ini bukanlah alasan untuk melahirkan pepecahan. Perbedaan suku, bahasa, dan juga latar belakang lainnya semestinya dijadikan sebagai pelengkap yang juga merupakan kekayaan yang belum tentu dimiliki bangsa lain.  Bangsa ini tentunya memiliki segudang harapan akan terwujudnya perdamaian. Seperti yang tertuang pada teks sumpah pemuda yang dicanangkan pada 28 Oktober 1928, yang dapat disimpulkan bahwa keragaman yang ada di bangsa ini seharusnya tidak melahirkan masalah besar, karena kita berbangsa, berbahasa, juga bertanah air Indonesia.
Perlu diingat, politik merupakan proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Dalam mengusung sebuah keputusan, pandangan politik yang sehat tak boleh terabaikan. Jika pandangan politik yang sehat itu tidak terwujudkan, maka aktivitas politik di bangsa ini pun tak luput dari kesia-siaan. Ia yang memegang kekuasaan di suatu partai politi tentunya harus dibarengi kesadaran akan banyak masyarakat yang bergantung padanya sehingga kepercayaan tersebut diemban dengan sebaik-baiknya, dibarengi dengan pandangan politik yang "sesehat-sehatnya".

Kamis, 18 Desember 2014

Kajian Filsafat Pancasila


Pancasila dikenal sebagai filosofi Indonesia. Kenyataannya definisi filsafat dalam filsafat Pancasila telah diubah dan diinterpretasi berbeda oleh beberapa filsuf Indonesia. Pancasila dijadikan wacana sejak 1945. Filsafat Pancasila senantiasa diperbarui sesuai dengan “permintaan” rezim yang berkuasa, sehingga Pancasila berbeda dari waktu ke waktu.
1.      Kajian Ontologis
Secara ontologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila. Menurut Notonagoro hakikat dasar ontologis Pancasila adalah manusia. Mengapa?, karena manusia merupakan subjek hukum pokok dari sila-sila Pancasila.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa yang berketuhanan Yang Maha berkemanusian yang adil dan beradab, berkesatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada hakikatnya adalah manusia (Kaelan, 2005).
Dengan demikian, secara ontologis hakikat dasar keberadaan dari sila Pancasila adalah manusia. Untuk hal ini, Notonagoro lebih lanjut mengemukakan bahwa manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontol memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Selain itu, sebagai makhluk individu dan sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, secara hierarkis sila pertama Ketuhanan \ Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila-sila Pancasila (Kaelan, 2005).
Selanjutnya, Pancasila sebagai dasar filsafat negara Rcpublik Indonesia memiliki susunan lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan, serta mempunyai si fat dasar kesatuan yang mutlak, yaitu berupa sifat kodrat monodualis, sebagai makhluk individu sckaligus juga sebagai makhluk sosial. Di samping itu, kcduduknnnya sebagai makhluk pribadi yang berdiri :endiri, sekaligus sebagai makhluk Tuhan. Konsekuensinya, segala aspek dalam penyelenggaraan negara diliputi oleh nilai-nilai Pancasila yang merupakan suatu kesatuan yang utuh yang memiliki sifat dasar yang mutlak berupa sifat kodrat manusia yang monodualis tersebut.
Kemudian, seluruh nilai-nilai Pancasila tersebut menjadi dasar rangka dan jiwa bagi bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa dalam setiap aspek penyelenggaraan negara harus dijabarkan dan bersumberkan pada nilai-nilai Pancasila, seperti bentuk negara, sifat negara, tujuan negara, tugas/kewajiban negara dan warga negara, sistem hukum negara, moral negara, serta segala aspek penyelenggaraan negara lainnya.
2.      Kajian Epistemologi
Kajian epistemologi filsafat Pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal ini dimungkinkan karena epistemologi merupakan bidang filsafat yang membahas hakikat ilmu pengetahuan (ilmu tentang ilmu). Kajian epistemologi Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Oleh karena itu, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia.
Menurut Titus (1984:20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu:
  • Tentang sumber pengetahuan manusia. 
  • Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia; serta 
  • Tentang watak pengetahuan manusia.
Epistemologi Pancasila sebagai suatu objek kajian pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Adapun tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahami bersama, adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia itu scndiri. Merujuk pada pemikiran filsafat Aristoteles, bahwa nilai-nilai tersebut sebagai kausa material is Pancasila.
Selanjutnya, susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari dari sila-sila Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkis dan berbentuk piramidal, yaitu:
  • Sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya. 
  • Sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila ketiga, keempat, dan kclima; 
  • Sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima. 
  • Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, dan ketiga serta mendasari dan menjiwai sila kelima; serta 
  • Sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga,dan keempat.
Demikianlah, susunan Pancasila memiliki sistem logis, baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut kualitas ataupun kuantitasnya. Selain itu, dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi landasan kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Kedudukan dan kodrat manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, sesuai dengan sila pertama Pancasila, epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifal mutlak. Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tertinggi.
Selanjutnya, kebenaran dan pengetahuan manusia merupakan suatu sintesis yang harmonis di antara potensi-potensi kejiwaan manusia, yaitu akal, rasa, dan kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi. Selain itu, dalam sila ketiga, keempat, dan kelima, epistemologi Pancasik: mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifai kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Sebagai suatu paham epistemologi, Pancasila memandang bahwa ilnu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan padc kcrangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan dalam hidup manusia. Itulah sebabnya Pancasila secara epistemologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalarr membangun perkembangan sains dan teknologi dewasa ini.
3.   Kajian Aksiologi
Kajian aksiologi filsafat Pancasila pada hakikatnya membahas tentang nilai praksis atau manfaat suatu pengctahuan tentang Pancasila. Karena sila-sila Pancasila sebagai suatu sistcm filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, maka nilai-nilai yang tcrkandung dalamnya pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Selanjutnya, aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila. Istilah nilai dalam kajian filsafat dipakai untuk merujuk pada ungkapan abstrak yang dapat juga diartikan sebagai "keberhargaan" (worth) atau "kebaikan" (goodnes), dan kata kerja yang artinya scsuatu tindakan kcjiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian (Frankena: 229).
Di dalam Dictionary of Sociology an Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Dengan demikian, nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek. Sesuatu itu mengandung nilai, artinya ada sifat atau kualitas yang melekat padanya, misalnya bunga itu indah, perbuatan itu baik. Indah dan baik adalah sifat atau kualitas yang melekat pada bunga dan perbuatan. Jadi, nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Adanya nilai itu karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai.
Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat bergantung pada titik tolak dan sudut pandang setiap teori dalam menentukan pengertian nilai. Kalangan materialis memandang bahwa hakikat nilai yang tertinggi adalah nilai material, sedangkan kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Namun, dari berbagai macam pandangan tentang nilai dapat dikelompokkan pada dua macam sudut pandang, yaitu bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan subjek pemberi nilai, yaitu manusia. Hal ini bersifat subjektif, tetapi juga terdapat pandangan bahwa pada hakikatnya nilai sesuatu itu melekat pada dirinya sendiri. Hal ini merupakan pandangan dari paham objektivisme.
Notonagoro memcrinci tentang nilai, ada yang bersifat material dan nonmaterial. Dalam hubungan ini, manusia memiliki oricntasi nilai yang berbeda bergantung pada pandangan hidup dan filsafat hidup masing-masing. Ada yang mendasarkan pada orientasi nilai material, tetapi ada pula yang sebaliknya, yaitu berorientasi pada nilai yang nonmaterial. Nilai material relatif lebih mudah diukur menggunakan pancaindra ataupun alat pengukur. Akan tetapi, nilai yang bersifat rohaniah sulit diukur, tetapi dapat juga dilakukan dengan hati nurani manusia sebagai alat ukur yang dibantu oleh cipta, rasa, serta karsa dan keyakinan manusia (Kaelan, 2005).
Menurut Notonagoro, nilai-nilai Pancasila itu termasuk nilai kerohanian tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui nilai material dan nilai vital. Deng demikian, nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai kerohanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, seperti nilai material nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau ni moral, ataupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistemik-hierarkis. Sehubungan dengan ini, sila pertama, yaitu ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis dari semua sila-sila Pancasila (Darmodihardjo: 1978).
Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-ni Pancasila (subcriber of values Pancasila), Bangsa Indonesia yang berketuhan; yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesialah yang menghargai, mengakui, serta menerima Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan, atau penghargaan itu telah menggejala dalam sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia dan bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap tingkah laku, dan perbuatan manusia Indonesia.


Ramalan Ronggo Warsito


Setelah ramalan 1 (satu) sampai dengan 6 (enam) dari Presiden Soekarno sampai Presiden SBY itu cocok, kini giliran ramalan ke-7 (tujuh) yang berbunyi Satria Piningit Sinisihan Wahyu (SAPI SIWA). Itulah ramalan Ronggo Warsito yang ditulis pada tahun seribu delapan ratusan. Dalam tulisannya, Ronggo Warsito banyak disisipkan sandi asmo. Inilah rahasianya ramalan ke-7 (tujuh) Satria Piningit Sinisihan Wahyu (SAPI SIWA) dalam dunia pewayangan Siwa adalah Bethara Guru yang berkendaraan Lembu Andini.
Menurutnya, ada tujuh satrio sebagai tokoh yang memerintah wilayah seluas wilayah kerajaan Majapahit ini. Tujuh tokoh tersebut adalah Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro, Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar, Satrio Jinumput Sumelo Atur, Satrio Lelono Topo Ngrame, Satrio Piningit Hamong Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro, dan Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu.
Ada pihak yang menafsirkan ke-tujuh Satrio sebagai berikut :
Pertama, SATRIO KINUNJORO MURWO KUNCORO. Pemimpin yang akrab dengan penjara (Kinunjoro), yang akan membebaskan bangsa ini dari belenggu tradisi penjara, kemudian menjadi tokoh pemimpin yang sangat tersohor di seluruh jagad (Murwo Kuncoro). Tokoh ditafsirkan sebagai Soekarno, Proklamator dan Presiden Pertama RI. Berkuasa tahun 1945-1967.
Kedua, SATRIO MUKTI WIBOWO KESANDUNG KESAMPAR. Tokoh pemimpin berharta dunia (Mukti), berwibawa dan ditakuti (Wibowo), namun dirinya dilekatan dengan segala kesalahan dan bernasib buruk (Kesandung Kesampar). Ditafsirkan sebagai Soeharto, Presiden Kedua RI dan pemimpin Rezim Orba yang sangat ditakuti. Berkuasa tahun 1967-1998.
Ketiga, SATRIO JINUMPUT SUMELA ATUR. Tokoh pemimpin yang diangkat (Jinumput) tetapi hanya dalam masa transisi atau sekedar menyelingi (Sumela Atur). Ditafsirkan BJ Habibie Presiden Ketiga RI. Berkuasa tahun 1998-1999.
Keempat, SATRIO LELONO TAPA NGRAME. Tokoh pemimpin yang suka mengembara/ keliling dunia (Lelono) juga mempunyai jiwa rohaniawan dan kontroversial (Tapa Ngrame). Ditafsirkan KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dus, Presiden Keempat RI. Berkuasa tahun 1999-2000.
Kelima, SATRIO PININGIT HAMONG TUWUH. Tokoh pemimpin yang muncul membawa kharisma keturunan dari moyangnya (Hamong Tuwuh). Ditafsirkan Megawati Soekarnoputri, Presiden Kelima RI. Berkuasa tahun 2000-2004.
Keenam, SATRIO BOYONG PAMBUKANING GAPURO. Tokoh pemimpin yang berpindah tempat (boyong) dari menteri menjadi presiden dan akan menjadi peletak dasar sebagai pembuka gerbang menuju puncak zaman keemasan (Pambukaning Gapuro). Ditafsir SBY. Ia akan selamat memimpin bangsa dengan baik jika mau tobat dan mampu mensinergikan dengan kekuatan Sang Pemimpin Ketujuh SATRIO PINANDITO SINISIHAN WAHYU.
SATRIO PINANDITO SINISIHAN WAHYU dinilai tokoh pemimpin sangat relijius yang digambarkan resi begawan (Pinandito/ ulama) yang rendah hati, memimpin atas dasar bimbingan syariat Allah SWT (Sinisihan Wahyu).